Green Computing: Solusi TI Ramah Lingkungan

Oleh Priyanto (Kedaulatan Rakyat, 19 Mei 2008)

Teknologi, di satu sisi memperbaiki dan mendukung kehidupan manusia, sementara di sisi lain menghancurkan. Teknologi selalu menyatu dengan konsekuensinya, teknologi tidaklah netral, demikian dikatakan Naisbit (1999). Teknologi Informasi (TI) adalah produk kreatif dari imaginasi dan mimpi manusia, keberadaanya telah menjadi bagian integral dari evolusi kultur manusia. Memanfaatkan TI secara efisien namun dengan hasil yang optimal adalah imperatif, untuk menggeser garis resultan konsekuensi agar (cenderung) berada pada sisi positif.

Diperlukan perubahan paradigma dan perilaku agar TI memberi manfaat melampaui biaya yang sudah dikeluarkan untuk investasi dan energi. Manfaat, bukan hanya memberi solusi komputasi, tetapi juga memberi sumbangan positif (baca: menjaga) alam semesta dalam bentuk mengurangi deforestasi atau kerusakan hutan. TI yang merupakan produk hitech memiliki konotasi dengan kota dan modern kok dikaitkan dengan hutan yang lebih dekat dengan “tarsan” dan primitif. Adakah kaitannya? Green computing adalah jawabannya. Meskipun kita jarang (atau bahkan tidak pernah) mendengar, ini bukan istilah baru dalam khasanah TI. Yang jelas, green computing bukan komputasi tarsan atau komputasi primitif, tetapi solusi komputasi modern dan beradab.

Adalah suatu sifat egois—secara individu ataupun organisasi– apabila memanfaatkan TI hanya untuk memberi solusi komputasi saja, menerima data dan mengolahnya menjadi informasi sehingga memiliki arti bagi stakeholders. Tetapi apabila stakeholders tersebut hanya berkaitan dengan informasi, dalam konsep green computing disebut shareholders. Konsep green computing mempertimbangkan triple bottom line (3BL)–manusia, planet, dan profit– sebagai stakeholders (en.wikiedia.org). Green computing adalah perilaku menggunakan sumber daya komputasi secara efisien, dengan cara memaksimalkan efisiensi energi, memperpanjang masa pakai perangkat keras, meminimalkan penggunaan kertas, dan beberapa hal teknis lainnya. Mengacu pada konsep 3BL, pengembangana sistem berbasis TI harus mempertimbangkan seluruh elemen stakeholders, tidak hanya memaksimalkan keuntungan shareholders saja.

Green computing telah mampu mencegah deforestasi? Ya, ini nampak dari studi yang dilakukan oleh Javelin Strategy & Research (Shapley, 2007) yang menunjukkan perubahan ke Internet Banking pada 53 persen Bank di Amerika, telah mampu menghemat penebangan 16.5 juta pohon setiap tahunnya.

Bagaimana dengan penerapan TI di UNY? Dari sisi transaksi akademik saja—yang merupakan salah satu dari sejumlah sistem berbasis TI yang tersedia– mampu mereduksi pemakaian kertas hingga 85,71 persen. Angka ini berasal dari reduksi kertas untuk transaksi kartu rencana studi (KRS) hingga 67 persen dan kartu hasil studi (KHS) hingga hampir 100 persen. Apabila dikonversikan dengan kebutuhan kayu, saat ini UNY hanya memerlukan 2,2 pohon per tahun dibandingkan saaat belum menerapkan TI secara penuh (hybrid) yang memerlukan 15,43 pohon per tahun, berarti menghemat 13,23 pohon setiap tahunnya.

Dua contoh tersebut hanya melihat dari sisi penghematan kertas saja, yang merupakan salah satu dari beberapa komponen green computing. Pada prinsipnya green computing terkait dengan tiga rangkaian entitas yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, dan pengguna (individu dan organisasi). Pertama, dari sisi perangkat keras. Dapat dipastikan perangkat keras TI (komputer, media menyimpan data, dan monitor), yang diproduksi sekitar pertengahan tahun 1990-an sudah memenuhi syarat green computing. Perangkat keras tersebut sudah memiliki fitur power management, ini bisa kita lihat pada sertifikasi progran Energy Star pada perangkat keras. Energy Star diluncurkan pada tahun 1992 oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, dan direvisi pada Oktober 2006 dengan lebih meningkatkan efisiensi pada perangkat komputer.

Kedua, dari sisi perangkat lunak. Standar industri Anvanved Configuration and Power Interface (ACPI) menetapkan antarmuka pemrograman strandar yang memungkinkan operating system (OS) mengontrol secara langsung penghematan konsumsi daya perangkat keras. Penghematan ini terjadi ketika OS secara otomatis mematikan periferal seperti monitor dan pengendali hard disk setelah komputer tidak aktif selama periode tertentu, atau proses hibernate pada komputer laptop. Semua ini akan terjadi kalau pengguna mengaktifkan fitur tersebut.

Ketiga, dari sisi pengguna yaitu: individu dan organisasi. Sebenarnya faktor inilah yang menjadi masalah utama dalam mewujudkan green computing, karena menyangkut kepedulian individu (kemampuan dan kamauan) dan kebijakan organisasi, yang pada gilirannya akan membentuk kultur organisasi. Dari sisi individu, setiap orang harus memiliki kepedulian untuk mengaktifkan fitur power options yang sudah disediakan pada setiap perangkat komputer yang berada dalam tanggung jawabnya.

Dari sisi organisasi, kebijakan untuk mulai menerapkan less paper untuk semua sistem administrasi yang telah memanfaatkan TI telah memberi dampak yang cukup besar. Studi penghematan kertas di UNY pada sistem informasi akademik (SIAKAD) di atas, hanya pada KRS pada awal semester dan KHS pada akhir semester saja. Angka penghematan tersebut akan jauh lebih besar apabila menghitung penghematan seluruh sistem berbasis TI yang tersedia seperti: sistem pembayaran online di seluruh Indonesia di Bank mitra UNY, sistem e-lettering, jurnal elektronik, video library, e-learning, dan optimalisasi e-mail sebagai sarana komunikasi.

TI UNY yang didukung dengan Giga bits intranet berbasis fiber optik, bandwidth Internet menuju 10 Mbps, 20 antena hotspot di seluruh wilayah kampus, dan virtual private network (VPN) untuk kampus di luar Karangmalang, telah menjadikan ”suh” sehingga UNY menjadi kampus terpadu secara lojik. Fasilitas ini masih didukung dengan kemampuan disaster recovery untuk menjamin keamanan data. Adalah suatu bentuk ingkar digital dan ingkar konsep 3BL, apabila insfrastruktur TI yang sudah tersedia (yang telah mengonsumsi daya listrik) tidak dimanfaatkan secara optimal.

Penerapan TI bukan sekedar faktor penjumlah pada paradigma lama, karena hanya akan menghasilkan paradigma lama yang mahal, mubazir, dan tidak ramah lingkungan. Tetapi lebih dari itu, TI dipandang sebagai enabler yang memicu dan memacu perubahan evolutif paradigma lama menuju paradigma baru. Perubahan tersebut terjadi pada individu maupun organisasi yang akan membentuk kultur organisasi modern. (***)