Membangun Infrastruktur Sosial dalam Pengembangan E-learning

Ruang informasi global yang dibentuk oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi ciri perkembangan masyarakat modern. Selain berpengaruh pada aspek sosial dan ekonomi, TIK juga berpengaruh dalam paradigma pembelajaran di semua tingkat sekolah termasuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kurikulum 2013 (K13) telah menempatkan TIK sebagai aspek penting dalam pembelajaran, mengingat TIK digunakan di semua mata pelajaran dalam kurikulum 2013. Salah satu peran TIK dalam pembelajaran adalah sebagai penyampai, atau disebut electronic learing (e-learnig). Dalam lingkungan sekolah fisik, e-learning dapat digunakan sebagai campuran maupun (blended) maupun komplemen tatap muka fisik.

Cheng (2005) menyatakan bahwa e-learning merupakan transformasi dari paradigma tradisional yang terikat ruang dan waktu menuju paradigma baru triplization. Paradigma triplization adalah pengembangan contextualized multiple intelligence (CMI) siswa dan proses globalisasi, lokalisasi, dan indivisualisasi dalam pendidikan menjadi aktivitas inti. Artinya, walaupun e-learning berorientasi global, namun tetap memperhatikan aspek lokal dan individu siswa.

Namun demikian, tingkat penerimaan e-learning di negera-negara berkembang khusnya Indonesia masih sangat rendah. Studi yang dilakukan oleh Priyanto (2009:86) menyatakan bahwa adopsi e-learning di Indonesia masih belum memuaskan. Studi lain yang dilakukan oleh Priyanto et al. (2017:5) menyatakan bahwa penggunaan e-learning di SMK di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan skor 18.52 masih berada di bawah level kesiapan (skor 22.4). Di sisi lain, faktor teknologi (kondisi yang memfasilitasi) yaitu: (1) infrastruktur teknologi (perangkat keras, perangkat lunak, dan akses Internet), (2) keterampilan guru, dan (3) konten pembelajaran diigital, ketiganya sudah berada di atas level siap. …. Artikel lengkap dapat diunduh di Lumbung Pustaka UNY.